GuidePedia

0
Bisnis Islam, Cuma Jualan Bungkus

Jumlah umat Islam yang mayoritas baru menjadi pasar potensial. Bisnis
Islam masih jauh dari andalan.
_________________________________________________________________

Yang ini dijamin halal, yang lain saya ndak tahu. Tak iya...." Begitu
kurang lebih potongan iklan sebuah produk mie instan. Pesannya jelas.
Mie itu tak sekadar berlabel ''halal" dalam kemasannya-seperti produk
mie serupa- tapi ''benar-benar" dijamin tak mengandung unsur yang
diharamkan.

Jelas, mie tersebut mencoba merebut sentimen pasar umat Islam yang
sensitif dengan isu halal dan haram. Tokoh pemeran dalam iklan itu pun
sengaja dipilih mbok Bariah, perempuan asli Madura, lengkap dengan
logatnya yang kental-salah satu simbol Islam yang gampang dikenal.

Bagi Indonesia, persoalan halal atau haram bukan main-main. Di negeri
yang mayoritas (85 persen dari 200 juta lebih) penduduknya beragama
Islam ini, persoalan halal haram bukan cuma bisa memicu perkara
politik yang gawat-tapi sekaligus bisa dimanfaatkan sebagai bagian
dari siasat pemasaran.

Isu lemak babi di pelbagai jenis makanan, seperti biskuit, kecap,
susu, hingga mie instan pada akhir 1988, misalnya, telah menimbulkan
rasa gelisah dan curiga yang berlebihan. Masyarakat jadi takut makan
mie instan. Toko-toko yang menjual barang-barang yang masuk dalam
daftar ''haram" itu ketakutan dan harus menutupi barang dagangannya.
Pemerintah sampai membentuk tim ad hoc antardepartemen untuk meneliti
ulang kebenaran isi makanan

Dengan ''sentimen" yang begini besar, di atas kertas, umat Islam
merupakan pangsa pasar yang besar. Bayangkan, andaikata konsumen mie
instan hanya mau makan mie merek Salam atau Karomah dan menolak makan
produk Indomie. Bukankah Indonesia akan kebanjiran produk-produk
berbendera Islam? Tapi kenyataannya memang tak seperti itu. Buktinya,
sampai saat ini Indomie tetap merebut pangsa pasar terbesar, dengan
menguasai sekitar 80 persen dari total penjualan mie cepat saji di
Indonesia.

Agaknya, bisnis tetap bisnis. Peluang pasar umat Islam ini tidak
menutup kesempatan orang untuk mencari peluang bisnis. Itu terbukti
dengan munculnya beberapa produk barang keseharian (consumer goods)
yang berlabel Islam-paling tidak dari namanya. Pasta gigi Siwak
misalnya melambangkan cerita Nabi Muhammad S.A.W. yang menggosok gigi
menggunakan batang pohon siwak. Pemanfaatan sentimen keislaman inilah
yang dipakai oleh pengusaha untuk membidik pangsa pasar umat Islam.

Alasan itu diakui Boediyanto, Direktur Utama Sentrafood Indonusa,
produsen mie Salam. ''Kita pilih sasaran pasarnya umat muslim,
otomatis produk dan mereknya akan ikut serta," katanya.

Keputusan untuk memilih segmen pasar ini, tentu saja, bukan tak
disengaja. Boediyanto mengakui, amat mustahil untuk bersaing secara
terbuka, adu kepala, melawan Indomie. Produk mie buatan kelompok usaha
Salim Grup ini, pasarnya sudah sangat mapan. Karena itu, Boediyanto
sengaja masuk bersaing sambil menyentil sentimen Islam.

Siasat yang hampir sama juga digelar oleh produsen mie Karomah. Produk
berlabel Islam itu bahkan memunculkan K.H. Zainuddin MZ sebagai
bintang iklan sekaligus pemegang saham. Produsen mie yang sudah
kembang-kempis itu, sejak Lebaran ini mulai bernapas lagi. Jika pada
hari-hari biasa, Karomah cuma membuat 50 hingga 75 ribu kardus, kini
250 ribu karton.

Lucunya, Karomah ini tak punya pabrik sendiri. Untuk memproduksi mie
mereka numpang di pabrik mie Michiyo- yang sebagian sahamnya dimiliki
Tomi Winata. Jadi, pihak mie Karomah cuma menyumbang resep mie dan
bungkusnya. Tapi, menurut Bachtiar Yusuf, Presiden Direktur PT
Karomatul Umah, siasat ''menumpang" itu tak mengurangi misi penting
Karomah sebagai perusahaan dari umat, untuk kepentingan umat.

Dari ''kacamata" Karomah atau Salam, produk bernuansa Islam agaknya
memang cuma sebatas pada upaya mencari pasar. Sayangnya, upaya itupun
masih belum sepenuhnya berhasil. Mie Karomah, misalnya, masih merugi
Rp 5 miliar. Begitupun nasib Mie Salam yang mengaku masih belum meraih
untung.

Apa artinya? Ada yang menyimpulkan, kekurangsuksesan itu merupakan
cermin bahwa bisnis Islam di Indonesia masih sebatas penggunaan label
dengan target pasar umat Islam. Itupun, sampai saat ini, belum
berhasil bersaing dengan bisnis-bisnis serupa yang tanpa menggunakan
label Islam. Gampangnya, masih jauh lebih banyak orang makan
Indomie-nya Salim-walaupun tak 100 persen terbebas dari isu-isu haram-
ketimbang makan mie Salam.

Agaknya, urusan pangsa pasar bisnis Islam ini sebenarnya jauh lebih
dalam daripada urusan labelisasi. Menurut Ulil Absar Abdalla, seorang
aktivis Nahdlatul Ulama, masalah umat Islam itu sebenarnya masalah
politik. Mayoritas umat Islam sama sekali tak mencerminkan kekuatan
itu karena proses peminggiran politik dan ekonomi yang begitu lama,
sejak zaman penjajahan Belanda. Karena itu, wajar kalau umat Islam tak
pernah menjadi kekuatan bisnis yang berarti.

Bahkan kalau dibandingkan dengan zaman Sarekat Islam (SI), awal abad
ke-20, bisnis Islam sekarang malah mengalami kemunduran. Dulu SI sudah
menjadi kekuatan ekonomi tandingan etnis Cina dalam perdagangan batik
di Solo. Sedangkan saat ini, belum ada kekuatan bisnis kelompok Islam
yang berarti.

Memang ada organisasi Islam seperti NU yang berusaha mengembangkan
beberapa sektor ekonomi, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Begitupun, toh belum berhasil menjadi kekuatan ekonomi yang berarti.
Nahdlatul Ulama yang berambisi membangun 2.000 BPR, bekerja sama
dengan (almarhum) Bank Summa pada tahun 1990, hanya bisa membangun 16
BPR yang menyokong usaha kecil masyarakat di sekitarnya. Bisa
dikatakan bahwa kedua organisasi besar Islam juga belum berhasil
muncul menjadi kekuatan bisnis. (Bina Bektiati, Ardi Bramantyo, Dwi Arjanto.)

Baca lebih lengkap, lebih seru dan lebih istimewa tentang Bisnis luar biasa dalam buku ”Indahnya Berbisnis dengan Tuhan”, seri satu (Life Management Series 1) karya Ust. Ayi Muzayini E.K, dengan pengantar DR. Hidayat Nur Wahid,MA. Penerbit Fatihah Publishing, Buku ini akan menemani Anda menuju apa yang Anda inginkan. Diangkat dari kisah nyata yang sangat istimewa dan penuh haru. Terdiri dari 10 bagian kisah yang unik dan penuh inspiratif. Tebal 296 halaman dengan harga konsumen Rp.58.000 (sudah termasuk ongkos kirim). Harga distributor Rp.30.000,- (minimal pengambilan 60 buku). Segera pesan, persediaan terbatas.

Pemesanan, masukan dan tanggapan dapat dikirim ke Jl.Pesantren No 55A 03/05 Kreo Selatan Larangan Tangerang 15156. HP 0813.8244.2222 Telp. (021)-68.99.23.24 – 7388.41.52 Fax (021)-585.45.01 Email : ayi.okey@gmail.com www.ayi-ibet.blogspot.com

Posting Komentar

 
Top